Tatapan Mata Ibu Kurangi Risiko Bayi Derita Autis

Mom & Son Mom & Son Inilah.com, Jakarta - Kontak mata sebanyak mungkin dengan bayi yang berisiko tinggi menyandang autis, amat sangat dianjurkan kepada orangtua, terutama jika sebelumnya telah memiliki anak autis.

Bagi peneliti dari University of Washington, hal itu tidak sekadar anjuran,, melainkan dengan dukungan penelitian pada 200 bayi yang mempunyai saudara sekandung autis.

Di Amerika Serikat, setiap satu dari 150 bayi lahir menyandang autis. Persentasenya menjadi lebih tinggi yakni satu dari 20 bayi baru lahir, jika salah satu kakaknya mempunyai autis.

Semua bayi itu dimonitor oleh para ahli, dibagi dalam kelompok usia 6, 12, dan 24 bulan. Setengah dari para ibu dilatih teknik tertentu untuk 'menangkap' komunikasi yang disampaikan oleh bayinya.

Para ibu itu juga dilatih menarik perhatian bayi, ketika mereka keasyikan sendiri. Dengan mengeluarkan suara pelan berirama serta bertatapan mata. Ini diyakini dapat mempermudah bayi belajar mengenal bahasa.

"Kami ingin para oarangtua ada ketika bayi meraih mainan dan mencari keberadaan orangtuanya melalui tatapan mata," kata Prof Annette Estes dari Pusat Autis University of Washington.

Lebih lanjut ia mengatakan, orangtua mesti benar-benar hadir ketika bayi memasuki dunianya dan tengah mencari tahu apa yang mesti dilakukan selanjutnya.

Ihwal berguman, memainkan nada suara, kontak mata dan model interaksi lainnya antara orangtua terutama ibu dan dengan bayi, diyakini dapat menekan derajat perkembangan autis. Terapi perilaku dan bicara juga dapat mendeteksi gejala autis tahap awal.

Menurut Prof Estes, autis muncul karena ada kelainan pada sistem komunikasi. Jika disadari sejak awal, maka dapat diterapkan pola komunikasi sosial yang tepat sehingga gejala dan perkembangan autis dapat ditekan sedikit mungkin. Ini berkaitan dengan perkembangan komunikasi sosial pada otak.

Prof Estes mengatakan, pengamatan perkembangan otak dilakukan pada semua bayi yang menjadi subyek penelitian. Namun pada bayi yang terlahir dari orangtua yang sebelumnya telah melahirkan anak autis, orangtua tidak punya pilihan lain kecuali menunggu dengan harap-harap cemas akan nasib buah hatinya.

Sayangnya, sampai saat ini seperti diakui Prof Estes, belum ada metode tepat untuk membantu orangtua yang memiliki anak autis melewati masa-masa sulit. [ES/L1]

Terapi Musik Dorong Perubahan Positif Autisme

Penulis : Ikarowina Tarigan

TERAPI musik tidak hanya berfungsi memfasilitasi perubahan positif pada perilaku manusia dewasa tetapi juga mempunyai pengaruh positif pada anak penderita autisme. Musik, menurut penelitian berperan sebagai rangsangan luar yang membuat anak nyaman, karena tidak terlibat kontak langsung dengan manusia.

Manfaat terapi

Meningkatkan perkembangan emosi sosial anak. Saat memulai suatu hubungan, anak autisme cenderung secara fisik mengabaikan atau menolak kontak sosial yang ditawarkan oleh orang lain. Dan terapi musik membantu menghentikan penarikan diri ini dengan cara membangun hubungan dengan benda, dalam hal ini instrumen musik.

Anak-anak autisme, berdasarkan hasil studi, melihat alat musik sebagai sesuatu yang menyenangkan. Anak-anak ini biasanya sangat menyukai bentuk, menyentuh dan juga bunyi yang dihasilkan. Karena itu, peralatan musik ini bisa menjadi perantara untuk membangun hubungan antara anak autisme dengan individu lain.

Membantu komunikasi verbal dan nonverbal. Terapi musik juga bisa membantu kemampuan berkomunikasi anak dengan cara meningkatkan produksi vokal dan pembicaraan serta menstimulasi proses mental dalam hal memahami dan mengenali. Terapis akan berusaha menciptakan hubungan komunikasi antara perilaku anak dengan bunyi tertentu.

Anak autisme biasanya lebih mudah mengenali dan lebih terbuka terhadap bunyi dibandingkan pendekatan verbal. Kesadaran musik ini dan hubungan antara tindakan anak dengan musik, berpotensi mendorong terjadinya komunikasi.

Mendorong pemenuhan emosi. Sebagian besar anak autisme kurang mampu merespon rangsangan yang seharusnya bisa membantu mereka merasakan emosi yang tepat. Tapi, karena anak autisme bisa merespon musik dengan baik, maka terapi musik bisa membantu anak dengan menyediakan lingkungan yang bebas dari rasa takut.

Selama mengikuti sesi terapi, setiap anak mempunyai kebebasan untuk mengekspresikan diri saat mereka ingin, sesuai dengan cara mereka sendiri. Mereka bisa membuat keributan, memukul instrumen, berteriak dan mengekspresikan kesenangan akan kepuasan emosi. Selain itu, terapi musik juga membantu anak autisme dengan:

  • Mengajarkan keahlian sosial
  • Meningkatkan pemahaman bahasa
  • Mendorong hasrat berkomunikasi
  • Mengajarkan anak mengekpresikan diri secara kreatif
  • Mengurangi pembicaraan yang tidak komunikatif
  • Mengurangi pengulangan kata yang diucapkan orang lain secara instan dan tidak terkontrol.

Sesi terapi

Terapi musik akan dirancang, dijalankan, dan dievaluasi sesuai dengan kebutuhan masing-masing anak. Selama terapi anak akan dilibatkan dalam beberapa aktivitas seperti:

  • Mendengarkan musik atau kreasi musik
  • Memainkan alat musik
  • Bergerak mengikuti irama musik
  • Bernyanyi (ol-08)

Penyebab Penderita Autis Sulit Berkomunikasi

Vera Farah Bararah - detikHealth

Cambridge, Penderita autis terlihat sangat tidak peduli dengan lingkungan sekitarnya. Kini peneliti menemukan penyebab kenapa penderita autis harus berjuang keras dalam lingkungan sosialnya.

Peneliti dari University of Cambridge yang melakukan penelitian dengan scan otak yang canggih menemukan bahwa ada bagian otak penderita autis yang memang tidak mengenali kesadaran tentang dirinya sendiri. Akibatnya, jangankan untuk berkomunikasi, untuk mengenali kesadaran terhadap pribadinya saja, penderita sudah kesulitan.

Scan otak canggih yang didapatkan peneliti menunjukkan penderita autis terlihat kurang aktif bila terlibat dalam hal pemikiran tentang kesadaran diri. Hasil penelitian ini telah dipublikasikan dalam jurnalBrain.

Penelitian ini telah menunjukkan adanya masalah pada penderita autis yaitu dalam hal kesulitan memikirkan sesuatu dan membuat rasa mengenai dirinya sendiri dan orang lain.

Para peneliti menggunakan scan resonansi magnetik fungsional untuk mengukur aktivitas otak dari 66 relawan laki-laki yang sekitar 50 persennya telah didiagnosis mengalami gangguan spektrum autis.

Para relawan ini diminta untuk memberikan penilaian mengenai pikiran dirinya sendiri, opini, preferensi, karakteristik fisik serta diharuskan memberikan penilaian terhadap orang lain.

Dengan melakukan scan terhadap otak para relawan dalam menanggapi berbagai pertanyaan tersebut, maka peneliti bisa melihat adanya perbedaan aktivitas otak antara penderita autis dengan yang tidak.

Peneliti sangat tertarik mengenai bagian dari otak yang disebut dengan ventrodial pre-frontal cortex (vMPFC) yang dikenal aktif ketika seseorang berpikir mengenai dirinya sendiri.

"Penelitian ini menunjukkan bahwa otak autis harus bekerja keras dalam memproses informasi mengenai dirinya sendiri, sedangkan untuk menjelajahi interaksi sosial dengan orang lain diperlukan usaha yang lebih keras lagi," ujar Michael Lombardo dari University of Cambridge, seperti dikutip dari BBC, Senin (14/12/2009).

"Kita tahu banyak penderita autis sangat sulit untuk berinteraksi dengan orang lain dan membangun pertemanan, ini dikarenakan mereka mengalami kesulitan dalam mengenali dan memahami pikiran serta perasaan orang lain," ujar Dr Gina Gomez de la Cuesta dari National Autistic Society.

(ver/ir)

Anak Autis Banyak Lahir dari Orangtua Berpendidikan Tinggi

Nurul Ulfah - detikHealth


California, Studi terkini menemukan anak autis banyak dilahirkan dari pasangan yang berpendidikan tinggi dan sudah tua. Peneliti menggunakan data sekitar 2,5 juta kelahiran di California selama 5 tahun.

Dan ternyata ditemukan sekelompok anak autis pada daerah dimana rata-rata penduduknya berpendidikan tinggi. Orang tua anak-anak autis tersebut ternyata kebanyakan berlatar belakang pendidikan lebih tinggi (di atas S1) dibanding orang tua di daerah yang tidak terdapat anak autis.

"Studi ini cocok dengan apa yang kami perkirakan sebelumnya, yaitu pasangan orang tua yang berpendidikan tinggi cenderung menghasilkan anak autis," ujar Karla Van Meter, epidemiolog dari Sonoma County Department of Public Health University of California seperti dilansir Healthday, Rabu (6/1/2010).

Suami istri yang sudah berumur tua saat memiliki anak juga dilaporkan lebih banyak mempunyai anak autis. Tapi faktor pendidikan jauh lebih besar risikonya dalam menghasilkan anak autis.

"Tidak ada yang benar-benar tahu penyebabnya apa. Tapi mungkin faktor genetik berperan. Mungkin juga karena orang tua berpendidikan tinggi memiliki harapan yang terlalu berlebih pada anaknya sehingga psikologisnya terganggu atau karena mereka lebih banyak terpapar dengan bahan kimia di rumahnya. Semuanya bisa saja terjadi, tapi kami masih meneliti penyebab pastinya," kata Van Meter.

Namun kabar baiknya adalah, orang tua yang berpendidikan tinggi lebih tahu tentang penyakit autis dan lebih baik dalam menangani anaknya yang autis.

"Penyakit autis sudah menembus batas demografis dan sosial ekonomi. Kita bisa melihatnya di lingkungan sekitar dimana pasangan orang tua yang pintar dan berpendidikan tinggi justru lebih banyak melahirkan anak autis," kata Lee Grossman dari Autism Society of America.

Jumlah anak autis memang meningkat akhir-akhir ini. Hingga Desember 2009, Centers for Disease Control and Prevention mencatat 1 dari 110 anak di Amerika terdiagnosa autis. Faktor genetik dan cemaran bahan kimia masih menjadi penyebab utamanya.(fah/ir)

1 Dari 100 Anak Menderita Autis

Vera Farah Bararah - detikHealth


Jakarta, Kenaikan jumlah angka penderita autis sungguh mencengangkan. Bagaimana tidak, rasio anak yang terkena autis semakin banyak dengan perbandingan 1 dari 100 anak terdiagnosa positif autis.

Berdasarkan laporan berita dari Institute Nasional Kesehatan Mental dan Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat, didapatkan bahwa telah terjadi peningkatan yang cukup besar dalam jumlah anak yang didiagnosis mengalami autis.

Kini ditemukan rata-rata penderita autis adalah 1 dari 100 anak-anak, sedangkan perkiraan sebelumnya adalah 1 dari 150 anak-anak dan dulu orang beranggapan penderita autis adalah 1 dari 500 anak-anak.

Apa yang sebenarnya terjadi? Saat ini ada kesepakatan secara umum bahwa faktor genetik diperkirakan turut menyempurnakan risiko anak-anak autis, faktor lainnya adalah meningkatnya kesadaran masyarakat mengenai penyakit ini sehingga meningkatkan pula diagnosis untuk gangguan spektrum autis (autism spectrum disorders). Tapi ada juga pemicu lain yang belum dapat diidentifikasi, seperti lingkungan, makanan atau faktor keturunan.

Faktor pemicu lainnya tersebut seperti dikutip dari Thedailygreen, Selasa (6/10/2009) adalah lingkungan yang sudah terpapar merkuri atau logam berat lainnya, air yang terkontaminasi, pestisida atau juga karena pengguaan antibiotik.

Segala macam limbah beracun yang ada di lingkungan diduga sebagai penyebab yang potensial. Dengan perkembangan penelitian termasuk penelitian yang menonjol mengenai kesehatan anak-anak, ada salah satu penyebab yang sudah tidak dipercaya lagi yaitu penggunaan pengawet vaksin thimerosal yang diduga menyebabkan anak autis. Kini pengawet tersebut sudah tidak digunakan dan tidak ada bukti yang menunjukkan thimerosal menyebabkan anak autis.

Autis merupakan gejala yang timbul karena adanya gangguan atau kelainan saraf pada otak seseorang. Anak yang menderita autis jika kepalanya diperiksa dengan menggunakan CT Scan semuanya akan terlihat normal-normal saja. Diduga autis terjadi karena jembatan yang menghubungkan antara otak kanan dan otak kiri bermasalah atau terhambat, dan sampai saat ini belum diketahui apa yang membuatnya terhambat.

Sampai saat ini belum ada satu penyebab yang pasti mengakibatkan anak autis. Tapi orangtua sebaiknya secara bijaksana mengurangi paparan bahan kimia beracun selama masa kehamilan dan masa perkembangan anak-anak.

Makanan Indonesia untuk Autisme

Sebagian besar gejala autisme bisa dikurangi dengan berpantangan terigu dan susu. Itu berarti sumber pangan asli Indonesia seperti beras, singkong, ubi, kentang, sagu dan jagung aman dikonsumsi penyandang autisme

Autisme menurut Dr. Melly Budiman,Sp.KJ merupakan gangguan perkembangan yang kompleks dan berat pada anak. Gejalanya bersifat individual dan tampak sebelum anak berusia 3 tahun. Secara garis besar gejala ini merupakan gangguan komunikasi, berinteraksi, dan gangguan perilaku.

“Anak bisa mengalami lambat bicara, omongannya sulit dipahami, tidak mau menatap mata, tak mau bermain dengan teman sebaya, tidak mau diatur, menyakiti diri sendiri, terpukau pada benad yang berputar dan banyak lagi,”ujar psikiater anak yang juga ketua Yayasan Autisme Indonesia.

Penyebab pasti autisme belum jelas diketahui. Ada pendapat, karena faktor genetik dan gangguan pertumbuhan sel otak selama dalam kandungan, serta kontaminasi logam berat menjadi sebab. Gangguan pertumbuhan sel otak pada janin bisa karena adanya virus, jamur atau zat beracun dalam makanan. Vaksin MMR (Mumps Measles Rubella) uga diperkirakan jadi penyebab. Dinyatakan vaksin ini menyebabkan kerusakan pada pencernaan dan otak. Beberapa gejala autisme juga ditemukan pada anak setelah imunisasi MMR.

Ahli Naturopati, Dr Amarullah H. Siregar, D1Hom, DNMed, MSc, PhD mengungkapkan disamping faktor genetik, autisme juga bisa disebabkan oleh trauma psikis atau fisik pada saat lahir., dan adanya intoleransi terhadap jenis protein dan gluten yang terdapat dalam gandung atau terigu, serta casein yang terkandung dalam susu. Selain pada gandum, gluten juga terdapat dalam havermut, bulger dan sejenisnya.

Anaka yang tidak diinginkan, lanjutnya bisa membawa trauma psikis disaat lahir. Sedangkan trauma fisik, misalnya pada bagian kepala, bisa terjadi selama proses kelahiran. Kondisi intoleransi terjadi karena kekurangan mineral pada sistem pembuluh saraf selama dalam kandungan.

Ada juga yang berpendapat bahwa autisme mempunyai gangguan metabolisme yaitu kekurangan enzim yang berkaitan dengan pencernaan gluten dan casein. Karena metabolisme tidak sempurna, maka proses pencernaan protein bukan menghasilkan asam amino, tapi malah menjadi zat racun semacam opioid yang jika masuk ke otak akan memicu agresivitas.

Sebuah studi di Amerika Serikat menyatakan 80 persen anak penyandang autisme alergi terhadap prduk susu dan gandum. Penelitian Dr.J.Robert Cade,M.D dari Universitas Florida menunjukkan 8 dari sepuluh anak bebas dari gejala autisme dan skizofrenia setelah menjalani terapi diet bebas susu.

Untuk yang intoleran terhadap susu bisa mengganti dengan susu kacang hijau dan jenis kacang-kacangan lain. Tapi harus tetap diingat bahwa bayi harus tetap mendapat ASI eksklusif selama empat bulan penuh. “Dengan air susu ibu, si anak malah akan punya kekebalan tubuh yang bagus.”

Dr. Siregar menegaskan, dengan memberikan vitamin dan mineral, kondisi intoleransi tersebut bisa diatasi. Dijelaskan setiap anak lahir dengan sifat inkonstitusional yang berlainan. Menurut ilmu kedokteran homeopati, sifat ini dibagi menjadi 4 (empat) yaitu

Tipe Carbonitrogenoid yang karakternya cerdas, mudah lelah fisik maupun mental, sensitif terhadap udara dingin, gejala memburuk pada siang hari. Sensitif terhadap cahaya dan suara, kulit selalu kering

Tipe Oxygenoid berkarakter, selalu ingin udara yang dingin , gejala memburuk pada malam hari, kulit berminyak dan pucat, selera makan baik, tidak suka daging, tidur memeluk guling.

Tipe Tubercular merupakan kombinasi tipe pertama dan kedua, juga cenderung rentan terhadap dingin, sulit berkonsentrasi, sangat atraktif selalu pusing dan limbung.

Tipe Hydrogenoid karakternya menyukai udara hangat, mudah tersinggung, egois, cemburu, sering diare tanpa sebab, sering muncul gangguan kulit.

Sumber: Tabloid Ibu Anak

Kromosom Abnormal Penyebab Autisme

Si kecil Ludin suka bermain sendirian sejak berumur dua tahun. Ia sering marah dan gusar bila ditemani bermain. Awalnya, ibunda Ludin, Nyonya Imroatus, menganggap putranya tak punya kelainan. Ia menyangka, putranya cuma ogah ditemani.

Tetapi, setelah Ludin berumur tiga tahun, kebiasaan itu tak kunjung berubah. Bocah ini malah cenderung cuek terhadap lingkungannya. Ludin tak mau menyahut bila dipanggil. Ia ogah berkomunikasi dengan siapa pun. Bocah ini cenderung asyik dengan dirinya sendiri.

Nyonya Imroatus mengkhawatirkan perkembangan putra semata wayangnya. Ia lantas membawa si kecil ke ahli psikiatri. Hasil analisis psikiater, Ludin mengalami autisme. Nyonya Imroatus kaget bukan kepalang setelah mengetahui kondisi putranya, mengingat selama ini anak autisme tergolong sulit ditangani.

Nyonya Imroatus tak patah arang. Demi masa depan putranya, apa pun dia lakukan. Kini Nyonya Imroatus rajin membawa si buah hati berobat dan berkonsultasi dengan dokter ahli di Rumah Sakit Soetomo, Surabaya.

Selama tiga bulan terakhir ini, Ludin menjalani terapi di rumah sakit itu. Perkembangannya lumayan pesat. Ludin mulai mau mengucapkan sejumlah kosakata sederhana: "bapak", "ibu", dan "makan". Nyonya Imroatus tak habis pikir, mengapa anaknya menderita autisme.

Padahal, di lingkungan keluarganya tak satu pun yang menderita autisme. Baik keluarga dari pihak ayah atau ibu Nyonya Imroatus maupun keluarga suaminya. Karena itulah, ia kaget setelah membaca berita bahwa autisme bersifat genetik. "Yang dialami anak saya itu yang pertama di keluarga kami," kata Nyonya Imroatus.

Kaitan genetik dengan autisme muncul dari pernyataan Steven Scherer, peneliti di Universitas Toronto, Kanada. Ia bersama para ilmuwan dari sejumlah negara melakukan penelitian tentang autisme yang didanai Autism Genome Project Cabang Kanada. Scherer bersama para ilmuwan dari sembilan negara mengumpulkan gen dari 1.168 keluarga.

Tiap-tiap keluarga itu memiliki minimal dua anak autis. Scherer memeriksa kromosom X yang berjumlah 23. Ternyata, pada masing-masing kromosom ada beberapa gen yang abnormal. Dari situlah ia berkesimpulan bahwa autisme bersifat genetik. Dan pada kromosom nomor 11 itulah yang paling menonjol kelainannya.

"Fakta ini menunjukkan bahwa 90% penyebab autisme adalah gen," kata Scherer, seperti dikutip ABCnews.com, Senin pekan silam. Ia menyatakan bahwa studi itu belum kelar. Kemungkinan Scherer bisa merampungkan penelitiannya ini paling singkat tiga tahun lagi.

Lewat penelitian itu, Scherer berharap, nanti bisa diketahui berapa banyak gen abnormal yang terlibat dan punya keterkaitan di antara gen-gen. "Jika hal itu sudah diketahui, kemungkinan akan dapat dibuat obatnya," kata Scherer.

Dokter Bridget Fernandez, selaku Ketua Autism Genome Project, memperkuat temuan Scherer. Menurut dia, autisme --seperti juga asma-- berkaitan dengan faktor keturunan. Ia yakin, faktor gen berperan, meski autisme tidak akan muncul dalam satu jenjang keturunan. Artinya, autisme bisa tak diturunkan dari orangtua, melainkan bisa juga melalui garis dari buyut.

Temuan Scherer tentu saja membuka harapan penyembuhan autisme. Sebab jumlah penyandang autisme kian hari kian bertambah. Dokter Nining Febriana, psikiater anak yang bekerja di Rumah Sakit Dokter Soetomo, mengungkapkan bahwa jumlah anak autis cenderung bertambah, Dalam sebulan, ia rata-rata menerima lima pasien baru yang menderita autisme.

Anak autis yang ditangani Dokter Nining dalam sepekan mencapai 40 anak. "Makin hari makin banyak. Mungkin para orangtua mulai sadar," kata Nining. Makin bertambahnya kasus anak autis juga terlihat dari bermunculannya sekolah-sekolah khusus penyandang autisme.

Di Jakarta Selatan ada sekolah Mandiga. Lalu di Pantai Indah Kapuk, Jakarta Utara, telah berdiriIndonesia Centre for Autism Resource and Expertise (Indocare). Indocare akan menjadi pusat percontohan bagi pengembangan sumber daya dan pelatihan khusus untuk anak yang mengalami gangguan spektrum autisme.

Di Indonesia, diperkirakan lebih dari 400.000 anak menyandang autisme. Sedangkan di dunia, pada 1987, prevalensi penyandang autisme diperkirakan 1 berbanding 5.000 kelahiran. Sepuluh tahun kemudian, angka itu berubah menjadi 1 anak penyandang autisme per 500 kelahiran. Pada tahun 2000, naik jadi 1:250.

Tahun lalu, jumlah anak autis bertambah banyak. Diperkirakan 1:100 kelahiran. Prevalensi penderita autisme kini lebih banyak ketimbang anak-anak penyandang sindroma down, yang ditandai dengan muka Mongoloid.

Temuan Scherer menyingkirkan dugaan-dugaan penyebab autisme yang selama ini mendominasi. Ada yang bilang, autisme merupakan dampak buruk merkuri. Bahkan sejumlah vaksin dan obat-obatan pernah disebut-sebut sebagai penyebab autisme.

Teori itu tidak mengada-ada, karena kadar merkuri dalam darah penyandang autisme cukup tinggi. Bahkan sebuah penelitian menemukan, kadar merkuri pada rambut anak autis cukup tinggi. Ada peneliti yang mementahkan teori itu, tapi banyak yang mengiyakan.

Dugaan lain, autisme disebabkan oleh faktor pemberian nutrisi sewaktu bayi masih di dalam kandungan. Makanan yang mengandung bahan pengawet yang dikonsumsi ibu hamil berpengaruh terhadap pertumbuhan janin.

"Makanan yang mengandung bahan pengawet, seperti makanan cepat saji, sangat buruk bagi pertumbuhan janin. Makanan laut yang tercemar merkuri juga berbahaya bagi janin," kata Dokter Nining Febriana kepada Ari Sulistyo dari Gatra.

Selain makanan instan, ditemukan banyak unsur kasein dan gluterin pada tubuh pasien autisme. Kasein banyak terdapat pada susu sapi, sedangkan gluterin pada terigu. Maka, penyandang autisme dilarang mengonsumsi susu sapi dan makanan yang terbuat dari tepung terigu.

"Jika itu dipatuhi, jumlah anak autis berangsur-angsur bisa berkurang," ujar Nining. Menanggapi temuan Scherer, Nining mengatakan bahwa faktor genetik dulu memang menjadi dugaan. Segala kemungkinan faktor penyebab autisme masih bisa muncul, termasuk faktor genetik.

Dokter Tjin Wiguna, psikiater anak pada Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, juga mengamini soal peran kelainan genetik. Ada kemungkinan, keluarga yang punya anak autis akan memiliki anak lagi yang kena penyakit yang sama. "Risikonya 3% lebih tinggi ketimbang dari keluarga normal," katanya. Namun belum dapat digeneralisasi bahwa semua kasus anak autis terjadi karena kelainan gen.

Aries Kelana dan Elmy Diah Larasati
[Kesehatan, Gatra edisi 16 Beredar Kamis, 1 Maret 2007]



sumber : klik

ALERGI MAKANAN DAN AUTISME

Dr Widodo Judarwanto SpA

Children Allergy Center, Rumah Sakit Bunda Jakarta

1. Pendahuluan

Beberapa laporan ilmiah baik di dalam negeri atau luar negeri menunjukkan bahwa angka kejadian alergi terus meningkat tajam beberapa tahun terahkir. Tampaknya alergi merupakan kasus yang cukup mendominasi kunjungan penderita di klinik rawat jalan Pelayanan Kesehatan Anak.

Alergi pada anak dapat menyerang semua organ tanpa terkecuali mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki dengan berbagai bahaya dan komplikasi yang mungkin bisa terjadi. Terakhir terungkap bahwa alergi ternyata bisa mengganggu fungsi otak, sehingga sangat mengganggu perkembangan anak Belakangan terungkap bahwa alergi menimbulkan komplikasi yang cukup berbahaya, karena alergi dapat mengganggu semua organ atau sistem tubuh kita termasuk gangguan fungsi otak. Gangguan fungsi otak itulah maka timbul ganguan perkembangan dan perilaku pada anak seperti gangguan konsentrasi, gangguan emosi, keterlambatan bicara, gangguan konsentrasi hingga autism.

Autism dan berbagai spektrum gejalannya adalah gangguan perilaku anak yang paling banyak diperhatikan dan kasusnya ada kecenderungan meningkat dalam waktu terakhir ini. Autism diyakini beberapa peneliti sebagai kelainan anatomis pada otak secara genetik. Terdapat beberapa hal yang dapat memicu timbulnya autism tersebut, termasuk pengaruh makanan atau alergi makanan.

2.ALERGI MAKANAN

Alergi makanan adalah suatu kumpulan gejala yang mengenai banyak organ dan system tubuh yang ditimbulkan oleh alergi terhadap makanan. Dalam beberapa kepustakaan alergi makanan dipakai untuk menyatakan suatu reaksi terhadap makanan yang dasarnya adalah reaksi hipersensitifitas tipe I dan hipersensitifitas terhadap makanan yang dasaranya adalah reaksi hipersensitifitas tipe III dan IV.

Tidak semua reaksi yang tidak diinginkan terhadap makanan merupakan reaksi alergi murni, tetapi banyak dokter atau masyarakat awam menggunakan istilah alergi makanan untuk semua reaksi yang tidak diinginkan dari makanan, baik yang imunologik atau non imunologik. Batasan lebih jelas dibuat oleh American Academy of Allergy and immunology,The National Institute of Allergy and infections disease yaitu

· Reaksi simpang makanan (Adverse food reactions)

Istilah umum untuk reaksi yang tidak diinginkan terhadap makanan yang ditelan. Reaksi ini dapat merupakan reaksi sekunder terhadap alergi makanan (hipersensitifitas) atau intoleransi makanan.

· Allergy makanan (Food Allergy)

Alergi makanan adalah reaksi imunologik yang menyimpang. Sebagian besar reaksi ini melalui reaksi hipersensitifitas tipe 1.

· Intoleransi Makanan (Food intolerance)

Intoleransi makanan adalah reaksi makanan nonimunologik dan merupakan sebagian besar penyebab reaksi yang tidak diinginkan terhadap makanan. Reaksi ini dapat disebabkan oleh zat yang terkandung dalam makanan karena kontaminasi toksik (misalnya toksin yang disekresi oleh Salmonella, Campylobacter dan Shigella, histamine pada keracunan ikan), zat farmakologik yang terkandung dalam makanan misalnya tiramin pada keju, kafein pada kopi atau kelainan pada pejamu sendiri seperti defisiensi lactase, maltase atau respon idiosinkrasi pada pejamu

Tanda dan gejala alergi makanan Keluhan alergi sering sangat misterius, sering berulang, berubah-ubah datang dan pergi tidak menentu. Kadang minggu ini sakit tenggorokan, minggu berikutnya sakit kepala, pekan depannya diare selanjutrnya sulit makan hingga berminggu-minggu. Bagaimana keluhan yang berubah-ubah dan misterius itu terjadi. Ahli alergi modern berpendapat serangan alergi atas dasar target organ (organ sasaran).

Reaksi alergi merupakan manifestasi klinis yang disebabkan karena proses alergi pada seseorang anak yang dapat menggganggu semua sistem tubuh dan organ tubuh anak.. Organ tubuh atau sistem tubuh tertentu mengalami gangguan atau serangan lebih banyak dari organ yang lain. Mengapa berbeda, hingga saat ini masih belum banyak terungkap. Gejala tergantung dari organ atau sistem tubuh , bisa terpengaruh bisa melemah. Jika organ sasarannya paru bisa menimbulkan batuk atau sesak, bila pada kulit terjadi dermatitis atopik. Tak terkecuali otakpun dapat terganggu oleh reaksi alergi. Apalagi organ terpeka pada manusia adalah otak. Sehingga dapat dibayangkan banyaknya gangguan yang bisa terjadi.

Tabel 1. MANIFESTASI ALERGI PADA BAYI BARU LAHIR HINGGA 1 TAHUN

ORGAN/SISTEM TUBUH

GEJALA DAN TANDA

1

Sistem Pernapasan

Bayi lahir dengan sesak (Transient Tachipneu Of The newborn), cold-like respiratory congestion (napas berbunyi/grok-grok).

2

Sistem Pencernaan

sering rewel/colic malam hari, hiccups (cegukan), sering “ngeden”, sering mulet, meteorismus, muntah, sering flatus, berak berwarna hitam atau hijau, berak timbul warna darah. Lidah sering berwarna putih. Hernia umbilikalis, scrotalis atau inguinalis.

3

Telinga Hidung Tenggorok

Sering bersin, Hidung berbunyi, kotoran hidung berlebihan. Cairan telinga berlebihan. Tangan sering menggaruk atau memegang telinga.

3

Sistem Pembuluh Darah dan jantung

Palpitasi, flushing (muka ke merahan), nyeri dada, colaps, pingsan, tekanan darah rendah

4

Kulit

Erthema toksikum. Dermatitis atopik, diapers dermatitis. urticaria, insect bite, berkeringat berlebihan.

5

Sistem Saluran Kemih

Sering kencing, nyeri kencing, bed wetting (ngompol) Frequent, urgent or painful urination; inability to control bladder; bedwetting; vaginal discharge; itching, swelling, redness or pain in genitals; painful intercourse.

6

Sistem Susunan Saraf Pusat

Sensitif, sering kaget dengan rangsangan suara/cahaya, gemetar, bahkan hingga kejang.

7

Mata

Mata berair, mata gatal, kotoran mata berlebihan, bintil pada mata, conjungtivitis vernalis.

Tabel 2. MANIFESTASI ALERGI PADA ANAK USIA LEBIH 1 TAHUN

ORGAN/SISTEM TUBUH

GEJALA DAN TANDA

1

Sistem Pernapasan

Batuk, pilek, bersin, mimisan, hidung buntu, sesak(astma), sering menggerak-gerakkan /mengusap-usap hidung

2

Sistem Pencernaan

Nyeri perut, sering buang air besar (>3 kali/perhari), gangguan buang air besar (kotoran keras, berak, tidak setiap hari, berak di celana, berak berwarna hitam atau hijau, berak ngeden), kembung, muntah, sulit berak, seringflatus, sariawan, mulut berbau.

3

Telinga Hidung Tenggorok

Hidung : Hidung buntu, bersin, hidung gatal, pilek, post nasal drip, epitaksis, salam alergi, rabbit nose, nasal creases Tenggorok : tenggorokan nyeri/kering/gatal, palatum gatal, suara parau/serak, batuk pendek (berdehem), Telinga : telinga terasa penuh/ bergemuruh/berdenging, telinga bagian dalam gatal, nyeri telinga dengan gendang telinga kemerahan atau normal, gangguan pendengaran hilang timbul, terdengar suara lebih keras, akumulasi cairan di telinga tengah, pusing, gangguan keseimbangan.

3

Sistem Pembuluh Darah dan jantung

Palpitasi, flushing (muka ke merahan), nyeri dada, colaps, pingsan, tekanan darah rendah,

4

Kulit

Sering gatal, dermatitis, urticaria, bengkak di bibir, lebam biru kehitaman, bekas hitam seperti digigit nyamuk, berkeringat berlebihan.

5

Sistem Saluran Kemih dan kelamin

Nyeri, urgent atau sering kencing, nyeri kencing, bed wetting (ngompol); tidak mampu mengintrol kandung kemih; mengeluarkan cairan di vagina; gatal, bengkak atau nyeri pada alat kelamin. Sering timbul infeksi saluran kencing

6

Sistem Susunan Saraf Pusat

NEUROANATOMIS :Sering sakit kepala, migrain, kejang gangguan tidur.

NEUROANATOMIS FISIOLOGIS: Gangguan perilaku : emosi berlebihan, agresif, impulsive, overaktif, gangguan belajar, gangguan konsentrasi, gangguan koordinasi, hiperaktif hingga autisme.

6

Jaringan otot dan tulang

Nyeri tulang, nyeri otot, bengkak di leher

7

Mata

Mata berair, mata gatal, sering belekan, bintil pada mata. Allergic shiner (kulit di bawah mata tampak ke hitaman).

3. HUBUNGAN AUTISME DAN ALERGI

Autisme adalah gangguan perkembangan pervasif pada anak yang ditandai dengan adanya gangguan dan keterlambatan dalam bidang kognitif, bahasa, perilaku, komunikasi dan interaksi sosial. Autism hingga saat ini masih belum jelas penyebabnya. Dari berbagai penelitian klinis hingga saat ini masih belum terungkap dengan pasti penyebab autisme. Secara ilmiah telah dibuktikan bahwa Autisme adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh muktifaktorial dengan banyak ditemukan kelainan pada tubuh penderita. Beberapa ahli menyebutkan autisme disebabkan karena terdapat gangguan biokimia, ahli lain berpendapat bahwa autisme disebabkan oleh gangguan psikiatri/jiwa. Terdapat juga pendapat seorang ahli bahwa autisme disebabkan oleh karena kombinasi makanan yang salah atau lingkungan yang terkontaminasi zat-zat beracun yang mengakibatkan kerusakan pada usus besar yang mengakibatkan masalah dalam tingkah laku dan fisik termasuk autisme.

Tetapi beberapa penelitian menunjukkan keluhan autism dipengaruhi dan diperberat oleh banyak hal, salah satunya karena manifestasi alergi. Renzoni A dkk tahun 1995 melaporkan autism berkaitan erat dengan alergi. Menage P tahun 1992 mengemukakan bahwa didapatkan kaitan IgE dengan penderita Autism.

Obanion dkk 1987 melaporkan setelah melakukan eliminasi makanan beberapa gfejala autisme tampak membaik secara bermakna. Hal ini dapat juga dibuktikan dalam beberapa penelitian yang menunjukkan adanya perbaikan gejala pada anak autism yang menderita alergi, setelah dilakukan penanganan elimnasi diet alergi. Beberapa laporan lain mengatakan bahwa gejala autism semakin buruk bila manifestasi alergi itu timbul.

4. PROSES TERJADINYA PENGARUH ALERGI TERHADAP AUTISME

Hubungan alergi makanan dan Autisme dapat dijelaskan karena adanya pengaruh alergi makanan terhadap fungsi otak. Patofisiologi dan patogenesis( proses terjadinya penyakit) alergi mengganggu sistem susunan saraf pusat khususnya fungsi otak masih belum banyak terungkap. Namun ada beberapa kemungkinan mekanisme yang bisa dijelaskan, diantaranya adalah :

ALERGI MENGGANGGU ORGAN SASARAN

Alergi adalah suatu proses inflamasi yang tidak hanya berupa reaksi cepat dan lambat tetapi juga merupakan proses inflamasi kronis yang kompleks dipengaruhi faktor genetik, lingkungan dan pengontrol internal. Berbagai sel mast, basofil, eosinofil, limfosit dan molekul seperti IgE, mediator sitokin, kemokin merupakan komponen yang berperanan inflamasi.

Gejala klinis terjadi karena reaksi imunologik melalui pelepasan beberapa mediator tersebut dapat mengganggu organ tertentu yang disebut organ sasaran. Organ sasaran tersebut misalnya paru-paru maka manifestasi klinisnya adalah batuk atau asma bronchial, bila sasarannya kulit akan terlihat sebagai urtikaria, bila organ sasarannya saluran pencernaan maka gejalanya adalah diare dan sebagainya. Sistem Susunan Saraf Pusat atau otak juga dapat sebagai organ sasaran, apalagi otak adalah merupakan organ tubuh yang sensitif dan lemah. Sistem susunan saraf pusat adalah merupakan pusat koordinasi tubuh dan fungsi luhur. Maka bisa dibayangkan kalau otak terganggu maka banyak kemungkinan manifestasi klinik ditimbulkannya termasuk gangguan perilaku pada anak. Apalagi pada alergi sering terjadi proses inflamasi kronis yang kompleks.

TEORI ABDOMINAL BRAIN DAN ENTERIC NERVOUS SYSTEM

Pada alergi dapat menimbulkan gangguan pencernaan baik karena kerusakan dinding saluran pencernan atau karena disfungsi sistem imun itu sendiri. Sedangkan gangguan pencernaan itu sendiri ternyata dapat mempengaruhi system susunan saraf pusat termasuk fungsi otak.

Teori gangguan pencernaan berkaitan dengan Sistem susunan saraf pusat saat ini sedang menjadi perhatian utama kaum klinisi. Penelitian secara neuropatologis dan imunoneurofisiologis banyak dilaporkan. Teori inilah juga yang menjelaskan tentang salah satu mekanisme terjadinya gangguan perilaku seperti autism melalui Intestinal Hypermeability atau dikenal dengan Leaky Gut Syndrome. Golan dan Strauss tahun 1986 melaporkan adanya Abdominal epilepsy, yaitu adanya gangguan pencernaan yang dapat mengakibatkan epilepsi.

KETERKAITAN HORMONAL DENGAN ALERGI

Keterkaitan hormon dengan peristiwa alergi dilaporkan oleh banyak penelitian. Sedangatan perubahan hormonal itu sendiri tentunya dapat mengakibatkan manifestasi klinik tersendiri.

Lynch JS tahun 2001 mengemukakan bahwa pengaruh hormonal juga terjadi pada penderita rhinitis alergika pada kehamilan. Sedangkan Landstra dkk tahun 2001 melaporkan terjadi perubahan penurunan secara bermakna hormone cortisol pada penderita asma bronchial saat malam hari.

Penemuan bermakna dilaporkan Kretszh dan konitzky 1998, bahwa hormon alergi mempengarugi beberapa manifestasi klinis sepereti endometriosis dan premenstrual syndrome. Beberapa laporan lainnya menunjukkan keterkaitan alergi dengan perubahan hormonal diantaranya adalah cortisol, metabolic, progesterone dan adrenalin.

Pada penderita alergi didapatkan penurunan hormon kortisol, esterogen dan metabolik. Penurunan hormone cortisol dapat menyebabkan allergy fatigue stresse, sedangkan penurunan hormone metabolic dapat mengakibatkan perubahan berat badan yang bermakna. Hormona lain uang menurun adalah hormone esterogen.

Alergi juga dikaitkan dengan peningkatan hormone adrenalin dan progesterone. Peningkatan hormon adrenalin menimbulkan manifestasi klinis mood swing, dan kecemasan. Sedangkan penongkatan hormone progesterone mengakibatkan gangguan kulit, Pre menstrual Syndrome, Fatigue dan kerontokan rambut.

Gambar 1 . Beberapa Hormon yang berkaitan dengan alergi dan gejalanya

5. PENATALAKSANAAN

Penanganan alergi pada anak haruslah dilakukan secara benar, paripurna dan berkesinambungan. Pemberian obat terus menerus bukanlah jalan terbaik dalam penanganan alergi, tetapi yang paling ideal adalah menghindari penyebab yang bisa menimbulkan keluhan alergi tersebut.

Diagnosis pasti alergi makanan tidak dapat ditegakkan hanya dengan tes alergi baik tes kulit, RAST, atau pemeriksaan alergi lainnya. Pemeriksaan tersebut mempunyai keterbatasan dalam sensitifitas dan spesifitas, sehingga validitasnya tidak terlalu baik. Jadi tidak boleh menghindari makanan penyebab alergi atas dasar tes alergi tersebut. Untuk memastikan makanan penyebab alergi harus menggunakan Provokasi makanan secara buta (Double blind placebo control food chalenge = DBPCFC) Makanan penderita dieliminasi selama 2-3 minggu dalam diet sehari-hari. Setelah 3 minggu bila keluhannya menghilang maka dilanjutkan dengan provokasi makanan yang dicurigai. Setelah itu dilakukan diet provokasi 1 bahan makanan dalam 1 minggu bila timbul gejala dicatat. Disebut sebagai penyebab alergi bila dalam 3 kali provokasi menimbulkan gejala Diagnosis pasti alergi makanan tidak dapat ditehakkan dengan tes alergi baik tes kulit, RAST, atau pemeriksaan alergi lainnya. Untuk memastikan makanan penyebab alergi harus menggunakan Provokasi makanan secara buta (Double blind placebo control food chalenge = DBPCFC) Makanan penderita dieliminasi selama 2-3 minggu dalam diet sehari-hari. Setelah 3 minggu bila keluhannya menghilang maka dilanjutkan dengan provokasi makanan yang dicurigai. Setelah itu dilakukan diet provokasi 1 bahan makanan dalam 1 minggu bila timbul gejala dicatat. Disebut sebagai penyebab alergi bila dalam 3 kali provokasi menimbulkan gejala

Penanganan khusus alergi pada anak dengan gangguan Spektrum Autisme harus melibatkan beberapa disiplin ilmu lainnya. Bila perlu dikonsultasikan pada bidang alergi anak, Neurology anak, psikiater anak, tumbuh kembang, endokrinologi anak dan gastroenterologi anak. Namun bila pendapat dari beberapa ahli tersebut bertentangan dan manifestasi alergi lainnya jelas pada anak tersebut, maka tidak ada salahnya kita lakukan penatalaksanaan alergi makanan dengan “eliminasi terbuka”. Eliminasi makanan tersebut dievaluasi setelah 3 minggu dengan memakai catatan harian. Bila gangguan perkembangan dan perilaku tersebut terdapat perbaikkan maka dapat dipastikan bahwa gangguan tersebut penyebab atau pencetusnya adalah alergi makanan.

6. PROGNOSIS

Alergi makanan biasanya akan membaik pada usia tertentu. Setelah usia 2 tahun biasanya imaturitas saluran cerna akan membaik. Sehingga setelah usia tersebut gangguan saluran cerna karena alergi makanan juga akan ikut berkurang. Bila gangguan saluran cerna akan membaik maka biasanya gangguan perilaku yang terjadipun akan berkurang. Selanjutnya pada usia di atas 5 atau 7 tahun alergi makananpun akan berkurang secara bertahap. Perbaikan gejala alergi makanan dengan bertambahnya usia inilah yang menggambarkan bahwa gejala Autismepun biasanya akan tampak mulai membaik sejak periode usia tersebut. Meskipun alergi makanan tertentu biasanya akan menetap sampai dewasa, seperti udang, kepiting atau kacang tanah.

7. PENUTUP

Permasalahan alergi pada anak tampaknya tidak sesederhana seperti yang diketahui. Sering berulangnya penyakit, demikian luasnya sistem tubuh yang terganggu dan bahaya komplikasi yang terjadi termasuk pengaruh ke otak. Pengaruh alergi makanan ke otak tersebut adalah sebagai salah satu faktor pemicu penyakit Autisme.

Eliminasi makanan tertentu dapat mengurangi gangguan perilaku pada penderita Autisme. Diagnosis pasti alergi makanan hanya dipastikan dengan cara eliminasi provokasi makanan. Penghindaran makanan penyebab alergi tidak dapat dilakukan hanya atas dasar hasil tes kulit alergi atau tes alergi lainnya, karena keterbatasan pemeriksaan tersebut.

Dengan melakukan deteksi dini gejala alergi dan gejala gangguan perkembangan dan perilaku maka pengaruh alergi terhadap otak dapat diminimalkan.

8. Daftar Pustaka

1. Reingardt D, Scgmidt E. Food Allergy.Newyork:Raven Press,1988.

2. Landstra AM, Postma DS, Boezen HM, van Aalderen WM. Role of serum cortisol levels in children with asthma. Am J Respir Crit Care Med 2002 Mar 1;165(5):708-12 Related Articles, Books, LinkOut

3. Kretszh, Konitzky. Differential Behavior Effects of Gonadal Steroids in Women And In Those Without Premenstrual

4. Lynch JS. Hormonal influences on rhinitis in women. Program and abstracts of 4th Annual Conference of the National Association of Nurse Practitioners in Women's Health. October 10-13, 2001; Orlando, Florida. Concurrent Session K New England Journal of Medicine 1998:1246142-156.

5. Bazyka AP, Logunov VP. Effect of allergens on the reaction of the central and autonomic nervous systems in sensitized patients with various dermatoses] Vestn Dermatol Venerol 1976 Jan;(1):9-14

6. Stubner UP, Gruber D, Berger UE, Toth J, Marks B, Huber J, Horak F. The influence of female sex hormones on nasal reactivity in seasonal allergic rhinitis. Allergy 1999 Aug;54(8):865-71

7. Renzoni E, Beltrami V, Sestini P, Pompella A, Menchetti G, Zappella M. Brief report: allergological evaluation of children with autism.: J Autism Dev Disord 1995 Jun;25(3):327-33

8. Menage P, Thibault G, Martineau J, Herault J, Muh JP, Barthelemy C, Lelord G, Bardos P. An IgE mechanism in autistic hypersensitivity? .Biol Psychiatry 1992 Jan 15;31(2):210-2

9. Strel'bitskaia RF, Bakulin MP, Kruglov BV. Bioelectric activity of cerebral cortex in children with asthma.Pediatriia 1975 Oct;(10):40-3.

10. O'Banion D, Armstrong B, Cummings RA, Stange J. Disruptive behavior: a dietary approach. J Autism Child Schizophr 1978 Sep;8(3):325-37.

11. Egger, J et al. Controlled trial of oligoantigenic treatment in the hyperkinetic syndrome. Lancet (1) 1985: 540-5

12. Loblay, R & Swain, A. Food intolerance In Wahlqvist M and Truswell, A (Eds) Recent Advances in Clinical Nutrition. John Libby, London. 1086.pp.1659-177.

13. Rowe, K S & Rowe, K L. Synthetic food colouring and behaviour: a dose-response effect in a double-blind, placebo-controled, repeated-measures study. Journal of Paediatrics (125);1994;691-698.

14. Ward, N I. Assessment of chemical factors in relation to child hyperactivity. J.Nutr.& Env.Med. (ABINGDON) 7(4);1997:333-342.

15. Overview Allergy Hormone. htpp://www.allergycenter/allergy Hormone.

16. Allergy induced Behaviour Problems in chlidren . htpp://www.allergies/wkm/behaviour.

17. Brain allergic in Children.htpp://www.allergycenter/UCK/allergy.

18. William H., Md Philpott, Dwight K., Phd Kalita, Dwight K. Kalita PhD, Linus Pauling PhD, Linus. Pauling, William H. Philpott MD. Brain Allergies: The Psychonutrient and Magnetic Connections.

19. Ray C, Wunderlich, Susan PPrwscott. Allergy, Brains, and Children Coping. London.2003

20. Hall K. Allergy of the nervous system : a reviewAnn Allergy 1976 Jan;36(1):49-64.

21. Doris J Rapp. Allergies and the Hyperactive Child

22. Bentley D, Katchburian A, Brostoff J. Abdominal migraine and food sensitivity in children. Clinical Allergy 1984;14:499-500.



sumber : puterakembara.org

About this blog

Curhatan, Berita, Fenomena, Olahraga, dan lainnya Insya Allah akan ada di sini...
thanks for your visit at this blog dan follow saya juga di sini :)

About Me

My photo
just simple and keep simply

Followers